RSS

Muthalib Burhan

10 Dec
  1. Sekilas perjalanan Burhani

Al-Burhani (demonstratif), secra sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksionatik (badhihi).

Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili); suatu cara berpikir (pengambilan keputusan) yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi hamliyah (category proposition) atau proposisi syartiyah (hypothical proposition) dengan mengambil 10 categori, sebagai objek kajiannya, kuantitas, kualitas, ruang atau tempat, waktu dan seterusnya. Pada masa Alexander Aphrodisi, murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk dalan khazanah pemikiran islam berganti nama menjadi Burhani.

Cara berpikir analitik Aristoteles ini masuk ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh Al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab, pertemuan epistemology burhani Yunani dengan epistemology bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode burhani ini sendiri, didasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada; bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang kurang lebih Hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia, atau daerah laindari pinggiran Islam, seperti mazdiah, Manikian, Materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah “zindiq” untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana Muslim (Ulama) merasa perlu untuk mencari system berpikir rasional dan argument-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, Bayani, tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya.

Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode Burhani adalah Al-Kindi (806-875 M). dalam kata pengantar buku “filsafat pertama” (Al-Falsafat Al-Ula), yang dipersembahkan untuk khalifah Al-Mu`tasim (833-842 M). Al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, kerena masih begitu dominannnya kaum bayani (fuqoha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan kedalam bahasa arab, metode analitika (burhani) yang diperkenalkan Al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, Al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang particular, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.

Metode rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai salah satu system pemikiran Islam Arab adalah setelah masa Al-Razi (865-925). Ia lebih ekstrem dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut Al-Razi, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akallah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk, setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.

Metode burhani akhirnya benar-benar mendapat tempat dalam system pemikiran Islam setelah masa Al-Farobi (870-950 M). filosof paripatetik yang dikenal sebagai guru kedua (al-mualim al-tsani) setelah Aristoteles sebagai guru pertama (al-mualim al-awwal) karena pengaruhnya yang besar dalam peletakan dasar-dasar filsafat Islam setelah Aristoteles, tidak hanya mempergunakan epistemology burhani dalam filsafatnya, bahkan menempatkannya sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya disbanding ilmu-ilmu agama; ilm al-kalam (teologi) dan fiqh (yurisprudensi), yang tidak mempergunakan metode burhani. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibn Rusd (1126-1198 M) ketika secara jelas menyatakan bahwa metode burhani (demonstrative) untuk kalangan elite terpelajar, metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan metode retorik (khithabi) untuk kalangan awam.

Pembuktian demonstrative (Burhan, Demonstrative syllogism)

Pembuktian burhan itu yang tersusun dari hal-hal yang sudah pasti (yaqiniyyat, certain object) yang dengan sendirinya menghasilkan keyakinan.

Burhan terbagi menjadi dua, yaitu

  1. Pembuktian demontratif apriori atau (BURHAN LIMMI), yaitu yang pembuktiannya dari sebab ke akibat

Contoh : besi ini derajat panasnya tinggi

Setiap besi yang derajat panasnya tinggi itu memuai

Besi ini memuai

  1. Pembuktian demontratif aposteriori (BURHAN INNI), yang pembuktiannya dari akibat ke sebab

Burhan inni terbagi lagi menjadi 2 macam:

  1. Term tengah. Sebagai akibat pada term mayor. Yang keberadaannya ada pada term minor. Contoh : besi ini memuai

Setiap besi yang memuai maka derajat panasnya tinggi

Besi ini derajat panasnya tinggi

  1. Term tengah dan term mayor. Sebagai akibat dari satu sebab

Contoh: setiap matahari terbit maka siang itu ada

Jika siang itu ada maka alam ini terang

Setiap matahari terbit maka alam ini terang

Silogisme Burhani

Ciri utama burhani adalah silogisme , tetapi silogisme tidak mesti menunjukan burhani. Dalam bahasa arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas, atau al-qiyas al-jam yang mengacu pada makna asal, mengumpulkan. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argument dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.

Namun demikian, karena pengetahuan burhani didasarkan atas objek-objek eksternal seperti disinggung di atas, ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme, (1) tahap pengertian (ma`qulat), (2) tahap pernyataan (ibarat), dan (3) tahap penalaran (tahlilat). Tahap pengertian adalah proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk kedalam pikiran, dengan merujuk pada 10 kategori yang diberikan Aristoteles. Tahap pernyataan adalah proses pembentukan kalimat atau proposisi (qadliyah) atas pengertian-pengertian yang ada . Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek (maudlu) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi diantara keduanya, dan dari sana hanya lahir satu pengertian serta kebenaran, yakni adanya kesesuaian dengan objek. Untuk mendapatkan satu pengertian yang tidak diragukan, sebuah proposisi harus mempertimbangkan “5 kriteria” (alfazh ak-khomsah). Yakni spesies (nau), genus (jins), diffrentia (fashl), propium (khas) dan aksidentia (aradl).

Tahap penalaran adalah proses pengambilan kesimpulan berdasarkan atas hubungan diantara premis-premis yang ada, dan disinilah terjadi sylogisme. Menurut Jabiri, dengan mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan sylogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alas an dan kesimpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.

Karena itu, al-Farabi sebagai tokoh filsafat dalam islam mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, meyakinkan, Al-Farabi membagi materi premis-premis silogisme dalam empat bentuk; (1) pengetahuan primer (2) pengetahuan indera (3) opini-opini yang umumnya diterima, (4) opini-opini yang diterima

Silogisme burhani menggunakan pengetahuan primer ini sebagai premis-premisnya. Selain itu, bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.

Derajat di bawah silogisme burhani adalah ‘silogisme dialektika’ yang umumnya dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati kayakinan, tidak sampai derajat meyakinkan seperti dalam silogisme demonstrative. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (musytharat), yang ini biasanya diakui atas dasar keimanan atau kesaksian orang lain, tanpa diuji secara rasional. Kerena itu, nilai pengetahuan yang dihasilkan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstrative. Ia berada di bawah pengetahuan demonstrative.

Meski demikian, pengetahuan hasil metode dialektik tersebut masih lebih unggul dibanding pengetahuan hasil retorik dan puitik, sebab dalam metode retorik, salah satu premis utamanya telah dibuang sehingga keputusan yang dihasilkan tidak meyakinkan, untuk tidak mengatakan tidak bisa diterima oleh aturan berfikir rasional. Pembuangan premis utama retorik ini dikarenakan tujuan penting retorik bukan untuk mencapai keyakinan rasional tetapi semata untuk meyakinkan pendengan agar mereka mempercayai apa yang disampaikan dengan membuat jiwanya puas dan sependapat dengan argument-argumen tersebut.

Di samping itu, premis uang digunakan dalam metode retorik biasanya hanya berputar pada opini-opini yang diterima (maqbulat), salah satu dari “meminjam istilah Khan” postulat yang menduduki peringkat paling rendah diantara empat postulat yang diberika Al-Farabi. Seperti premis pada opini yang umumnya diterima, opini yang diterima hanya menduduki peringkat “di terima saja” karena ia tidak diakui secara umum, bahkan hanya diterima oleh individu atau sekelompok kecil orang, tanpa ada penyelidikan lebih lanjut apakah yang diterima tersebut memang demikian adanya atau justru malah sebaliknya.

Peran bagi Epistem berikutnya

Dalam perkembangan selanjutnya, metode burhani yang dianggap lebih unggul di banding dua epistemology yang lain ternyata ditemui mengandung kekurangan. Bahwa ia tidak bisa menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran akal atau rasional, meski Rasio telah mengklaim sesuatu dengan prinsip-prinsip segala sesuatu, bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa menjelakan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. Menurut Suhrawardi, kekurangan rasionalisme burhani antara lain

  1. Bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat burhani
  2. Ada eksistensi di luar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa di jelaskan burhani, seperti soal Warna, Bau, Rasa atau Bayangan
  3. Prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus di definisikan oleh attribute yang lain akan mengiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum, yang berarti tidak aka nada absurditas yang bisa diketahui.

Jelasnya, deduksi rasional (burhani) dan demonstrasi belaka tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta.

Karena itu, muncul metode baru yang disebut iluminasi (isyraqi) yang memadukan metode burhani yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang mengandalkan kekuatan hati lewat kasyf atau intuisi. Metode ini berusaha menggapai kebenaran yang tidak dicapai rasio lewat jalan intuitif, dengan cara membersihkan hati kemudian menganalisa dan melandasinya dengan argument-argumen rasional.

Namun demikian , pada masa berikutnya, metode isyraqi dirasa masih juga mengandung kelemahan, bahwa pengetahuan iluminatif hanya berputar pada kalangan elite terpelajar, tidak bisa di sosialisasikan sampai masyarakat bawah, dan tidak bisa diterima bahkan tidak jarang malah bertentangan dengan apa yang dipahami kalangan eksoteris(fiqh), sehingga tidak jarang justru menimbulkan kontroversial. Munculah metode kelima, filsafat transenden (hikmah al-mutaliyah), yang dicetuskan Mulla Sadra (1571-1640 M ) dengan memadukan tiga metode dasar sekaligus; metode bayani yang tekstual, metode burhani yang rasional dan metode irfani yang intuitif.

Dengan metode terakhir ini, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang hasilkan oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan ruhaniah, dan semua itu kemuadian disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argument-argumen rasional. Bagi kaum Muata`aliyah pengetahuan atau hikmah tidak hanya untuk memberika pencerahan kognisi tetapi juga realisasi; mengubah wujud penerima pencerahan itu sendiri dengan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transfirmasi wujud. Semua itu tidak bisa dicapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran harus menggaet metode bayani dalam sistemnya.

Dengan mengandalkan kekuatan oleh rasio,burhani telah berjasa mengembangkan pemikiran islam, juga telah membantu perkembangan epistemology lain, seperti bayani lewat pemikiran fiqh seperti yang dilakukan Al-Ghazali lewat al-mustashfi fi`ulum al-fiqh, dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibn Arabi lewat uraiannya tentang wahdat al-wujud. Ia bahkan masih merupakan penopang utama bagi epistemology berikutnya. Isyraqiyah dan hikmah muta`aliyah. Aristoteles pernah menyatakan, burhani bisa menyusun (mengembangkan) metode dan pemikiran lain tapi ia tidak bisa disusun dari metode dan factor lain.

Rasio dan Hati adalah sumber lain pengetahuan

            Sumber yang lain yang masih perlu dibahas bersama dan yang akan menjadi focus pembahasan kita adalah masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita mengakui bahwa alam ini merupakan”sumber eksternal” bagi pengetahuan, lalu apakah manusia juga memiliki “sumber internal” bagi pengetahuan ataukah tidak? Hal ini tentunya berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional. Dan berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada beberapa aliran pemikiran yang menyatakan bahwa kita memiliki “sumber internal” tersebut, sementara sebagian yang lain menafikan keberadaannya. Ada sebagian aliran pemikiran juga meyakini keterpisahan rasio dari indera, dan sebagian lain tidak meyakini keterpisahan rasio dari indera, dan semua permasalahan itu akan menjadi jelas. Setelah kita memasuki berbagai pembahasan yang akan datang.

Sumber ketiga adalah hati (jiwa). Mestinya kita tak menyebutnya dengan alat, namun kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Jelas tidak ada satupun dari aliran materialism yang mengakui keberadaan sumber ini. Karena jika kita meyakini hati sebagai satu sumber, sedangkan manusia pada awal dilahirkan ia tidak memiliki suatu pengetahuan apapun, dan di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu apapun, dan kita juga meyakini bahwa hati dapat menerima berbagai ilham(dan wahyu merupakan peringkat ilham yang paling sempurna) maka sama halnya dengan mengakui adanya suatu alam yang ada dibalik alam materi ini, karena materi tidak dapat memberikan berbagai ilham seperti itu kepada manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika.

Kita mesti membahas instrument pengetahuan sebagai berikut

  1. Indera. Namun indera adalah alat untuk alam materi. Dengan alat ini manusia memperoleh pengetahuan dari alam materi.
  2. Berbagai argument logika/argument yang rasional. Yang dalam ilmu logika disebut dengan Burhan (demonstrasi) . yang ini adalah suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Alat kedua (rasio) tersebut dapat diberlakukan. Saat kita meyakininya sebagai suatu sumber pengetahuan. Mereka yang membatasi sumber pengetahuan itu pada pada alam materi saja, dan membetasi instrument pengetahuan hanya indera, tentunya mereka menolak Rasio sebagai sumber pengetahuan. Dan jelas mereka juga menolak nilai alat sylogisme dan demonstrasi Burhan. Selama kita tadak mengakui rasio sebagai sumber pengetahuan. Maka kita pun tidak dapat bersandar pada alat sylogisme dan demonstrasi. Yakni kita tidak dapat mengakuinya sebagai suatu alat pengetahuan.

Namun, itu bukan berarti burhani benar-benar sempurna tanpa cacat. Ada beberapa catatan untuk epistemology ini.

  1. Prinsip silogime burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu  yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah menyederhanakan dan bahkan membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataanya? Realitas tidak hanya pada apa yang konkret, atau yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas yang di luar seperti jiwa dan konsep mental. Artinya disini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme
  2. Silogisme tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksistensi empiris diluar pikiran seperti soal warna, rasa, bau atau bayangan artinya tidak semua keadaan atau objek diungkap lewat silogisme sebagaimana kritik yang disampaikan oleh Suhrawardi dan Leibniz
  3. Prinsip logika burhani yang menyatakan bahwa attribute yang lain akan mengiring pada proses tanpa akhir. Artinya tidak aka nada absurditas yang bisa diketahui logika burhani, seperti dikritik Suhrawardi. Sesungguhnya tidak memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
  4. Sejalan dengan no 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus didesuksikan dari pernyataan yang umum , maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara emplisit pada pernyataan umum yang disebut premis mayor, jika belum ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang disampaikan Bacon dan John Stuart pada logika Aristoteles yang dipakai burhani.
  5. Silogisme ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pada cara berpikir hitam putih, benar salah, sebagai mana yang terjadi dalam model pikiran teologi. Yang memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah  menimbulkan konflik, karena tidak mengenal kebenaran pada pihak lain. Kebenaran hanya ada di pihaknya sendiri.

Perbedaan Dasar Epistemologi dalam Islam

Bayani Irfani Burhani Israqi Muta`aliyah
  Sumber Teks keagamaan/Nash Kasyf      Rasio Kasyf dan Rasio Kasyf, rasio dan teks
  Metode -Berpegangan pada zahir teks

-Qiyas Al-ghaib ala al-syahid

-Qiyas al-far ala al-ashl

Qiyas al-syahid ala al-ghaib   Silogisme -silogisme

-qiyas alsyahid ala al-ghaib

-Berpegangan pada lafaz teks.

-Sylogisme

-Qiyas alghaib ala as-syahid

-Qiyas alsyahid ala alghaib

-Qiyas alfar ala alashl

Pendekatan Linguistik/Dilalatar Lughawiyah Pshiko,Gnostik     Logika Psikho,

Gnostik&Logika

Psikho,Gnostik logika dan bahasa
Tema sentral       Ashl Furu`

kata-makna

Zahir-Batin

WilayahNubuwah

Essensi,Eksistensi, bahasa,logika Zahir,batin

Esensi-eksistensi

Ashl-furu

Zahir-batin

Esensi-eksistensi

Validitas kebenaran Korespondensi Intersubjektif Koherensi

konsistensi

Intersubjektif

Konsistensi

Korespondensi, Intersubjektif&Konsistensi
Pendukung Kaum Teolog, ahli fiqh dan ahli bahasa Kaum Sufi Para Filosof Kaum illuminatif, Sufi-Filosof Pengikut mzhab Muta`aliyah umumnya kaum Syi`ah

Daftar Pustaka

Muthahari Murtadha. Pengantar epistemology Islam. 2010 Sadra Press. Jakarta.

Soleh A. khudori, M.ag. wacana baru Filsafat Islam. 2004 Pustaka pelajar. Yogyakarta

 
Leave a comment

Posted by on December 10, 2013 in filsafat

 

Leave a comment

 
Cassiopeia's Star

When You Wish Upon a Star, Light of Hope, and Faith

Partikel Jiwa

Ranah Kontemplasi Diri

minayasamistra

books.. read!! write!! do!!

Perahu Pemberian Sang Guru

Berlayar di Samudra Kehidupan

nenden1310

Self confidence is the key of success....

Butiran Hikmah's Blog

This WordPress.com site is the bee's knees

milahidayah

Anugerah pancaran Cahaya Ilahi

Dunia Yuni Anstiya

"hiduplah seperti yang kau mau jangan hidup seperti apa yang dia mau"

LINGKAR PENA DAMAYANA

INDAH DAMAYANA

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.